Breaking News

Open Your Heart With Wayan Sudira-Anna Liparissa


Satu di antara pasangan ikonik di kampus adalah Wayan Sudira dan Anna K Liparissa. Mereka sama-sama dari angkatan 1980. Bukan sekadar menjadi pasangan kekasih, mereka kemudian mengikat dalam tali perkawinan pada 24 Oktober 1985, setahun setelah lulus dari kampus. 

Sebenarnya, dua atau tiga hari menjelang pernikahan mereka di Tabanan, kampung halaman Wayan, beberapa teman kampus telah siap untuk berangkat dari Jakarta menuju Bali. Siang hari menjelang keberangkatan sore, mestinya rombongan sudah bersiap bertemu di titik kumpul, untuk berangkat ke Bali dengan menyetir secara bergantian. 

Mendadak kabar duka datang, kakak Yayat Supriyatna wafat. Rencana itu pun buyar. Pernikahan Wayan-Anna pun tanpa kehadiran teman satu angkatan di kampus. Setelah menikah mereka bekerja di Jakarta, pernah tinggal di Cempaka Putih dan Cimanggis, hingga kemudian mereka memutuskan pulang kampung ke Bali menekuni bisnis dan pekerjaan.

Suatu hari, 18 tahun lalu, Anna ikut kegiatan Yoga massal Seger Oger di Pantai Sanur, sebelum akhirnya di Lapangan Renon, Denpasar. Ia langsung kepincut. Tak cuma Anna, sang suami pun ikut menjajal berlatih Yoga. “Mulanya iseng aja ikut bini yang duluan gabung, nggak tahunya keterusan nge-klik,” sergah Wayan kemudian.

Yang semula iseng akhirnya Anna berlatih Yoga secara serius dengan kursus yang terdaftar di Yoga Alliance yang terakreditasi internasional, ia bahkan telah menyandang Registered Yoga Teacher (Ryt). Anna telah lulus training untuk kategori hingga 300 jam.  Itu sebabnya, di sela kesibukan kerja di Hotel Nikko Benoa Beach, ia mengajar di beberapa studio Yoga.

Tak cuma Anna, Wayan pun telah mengantungi sertifikat dari sekolah yoga yang Registered Yoga School. Bahkan ia mengikuti sekolah yoga di Ubud khusus untuk kalangan bule dengan pengantar bahasa Inggris. 

Untuk yang 200 jam punya dua sertifikat, 100 jam punya satu, dan 50 jam punya dua. “Yang workshop lupa punya berapa, itu untuk keperluan formal kalau ada yang nanya. Soal Ryt dan Rys mah cuma merek dagang, itu sih bisanya orang dagang aja,” tutur Wayan tertawa.

Yoga, yang semula hanya iseng sebagai olah tubuh agar lebih bugar dan sehat, kini bahkan sudah menjadi kegiatan semi profesional. Kini Wayan mengajar Yoga di beberapa tempat, baik studio atau hotel. “Gue kebanyakan mengajar bule, di hotel atau vila. Soal jumlah peserta tergantung tempatnya. Di tempat yang kecil antara 10-15 orang, Yang lebih besar bisa sampai 30 orang, kalau di lapangan bisa sampai 100 orang,” katanya.

Anna bilang, emosi yang dipendam di hati bisa menyebabkan kekakuan sendi,  akibatnya bahu cenderung ke arah depan dan tubuh membungkuk. Belum lagi, menurutnya,  aktivitas sehari-hari yang sederhana seperti bekerja di depan komputer, main gadget, menyetir, makan-minum, pekerjaan rumah tangga, setrika baju, berkebun, hingga memasak sangat besar pengaruhnya untuk membuat tubuh bagian atas semakin membungkuk ke depan. Itu sebabnya, Anna melontarkan ajakan,”Imbangi, open your heart, buka hatimu, mari beryoga suka-suka.”

Yoga itu bukan sekadar olah tubuh. Bukan juga sekadar pose tanpa arti. Yoga itu bagaimana kita memahami, mengenal, dan memaklumi keterbatasan kita. Melepaskan diri dari ego yang seringkali melebihi kapasitas tubuh.


Senada dengan sang istri, Wayan menuturkan bahwa soal yoga itu berat dan menguras tenaga fisik tak ada sama sekali. “Sama seperti olah raga yang lain, kalau jarang gerak pasti badan sakitlah. Nah, karena sudah biasa olah raga jadi nggak begitu terasa. Soal efek bagus ke suasana hati, itu alamiah, seperti men sana in corpore sano kali ya,” ujarnya tersenyum.

Waktu yang baik untuk melakukan yoga, menurut Wayan, adalah pagi hari sebelum matahari terbit. “Biar dapat efek spritualnya, tapi kalau untuk sport ya sesuaikan saja seperti sport yang lain,” ujarnya menjelaskan.

Saat ini yoga berkembang sangat pesat di Bali, studio, sanggar yoga bertumbuh, ada di mana-mana, termasuk yang diadakan terbuka untuk umum seperti Seger Oger dengan free iuran atau kalaupun ada adalah donasi sukarela. “Sebenarnya yoga itu milik universal, sebelum ada agama.Tradisi ribuan tahun. Sekarang saja jadi rebutan karena bisa dijual,” kata Wayan.

Itu sebabnya, cerita Wayan, persaingan antar studio atau sanggar sangat ketat. “Di Bali bayarnya murah, tapi lumayan dengan mengajar di empat tempat bisa buat uang tambahan hari tua. Dapat berbagi sehat dan kebahagiaan.”

Itu sebabnya, menurut Wayan,”Berusaha untuk happy, semua pasti ada masalah. Itulah kehidupan. Nggak mau lagi mikirin bisnis, sekarang saatnya menikmati hidup, mensyukuri yang ada.”

Soal anak, bagi Wayan dan Anna, diserahkan kepada mereka untuk mandiri. Kalau bisa bantu dan mereka mau dibantu, ya dibantu. Kalau nggak mau, ya jangan dipaksa. “Ini juga anak bontot mau lanjut sekolah ke Swiss katanya. Monggo saja, mumpung gue ada rezeki, daripada mentok di sini. Sekarang hidup punya mereka, kita cuma mendukung dan mendoakan yang terbaik,” tutur Wayan.

Hidup pasangan ini dijalani dengan rileks. Bulan lalu mereka melakukan perjalanan dari Bali ke Solo bersama anak bungsu. Jika lelah menyetir langsung menginap di kota tempat ia harus rehat. Sementara anak-anaknya yang lain dari Jakarta menuju Solo. “Di Solo kumpul keluarga, kadang ke Bandung, Yogya, Surabaya, dan Malang, itu saja sudah empat kamar hotel bersama anak menantu dan cucu, ramai dan menyenangkan.” 

Memang, Wayan dan Anna, menjadwalkan dalam setahun melakukan sekali travelling, kadang lebih jika ada waktu dan rezeki lebih. Kalau ke luar negeri lebih sering berdua saja, jika anak-anak tak bisa ikut maka travellingnya bersama teman, kadang teman kegiatan yoga.

Bukan cuma travelling, agar hidup bisa lebih fresh, saban akhir pekan, mereka rutin pulang kampung ke Tabanan sekadar berkebun. Kegiatan ritual keagamaan sudah, yoga sudah, berkebun, kumpul dengan anak cucu, apa yang hendak dicari lagi? Cukup kan? Ya, enough! (Krisman Purwoko



Tidak ada komentar