Breaking News

Persahabatan Bagai Kepompong (1)

Halal bihalal mantan Republika di Bogor 2016


Oleh Krisman Purwoko 

Circle pertemanan ketika di kampus bisa dikenali ketika 40 tahun lebih berlalu, hingga ke masa menua. Ada banyak teman yang sering runtung-runtung jalan bareng ketika di kampus dulu. Untuk angkatan 1982 kita bisa mengenali Ninuk nyaris rendengan terus dengan Wiwik dan Ida, selain itu Nurida dengan Nana, Winda dan Ema misalnya. 

Di angkatan 1981 ada Rita Zahara, Lisza Nazwar, Mieke D Soeprapto, Rita Tri Mutiawati, Asterina Afrianty. Untuk yang cowok angkatan 1982 ada Dodi, Jacky, Fence.

Di antara pertemanan itu, tak banyak yang bisa berbarengan terus bahkan menekuni karier yang sama dengan institusi yang sama pula. Nah, saya yang angkatan 1979 bersama Yayat Supriyanta angkatan 1980, nyaris tak pernah berpisah sejak ke luar kampus.

Selepas sama-sama berhenti menjadi dosen di LPK Regina di Cikini, suatu hari di tahun 1985 Yayat datang ke rumah mengajak untuk kursus jurnalistik. “Kita kursus jadi wartawan yuk,” katanya kepada saya. Saya terlonjak. Kaget tentu saja. “Jadi wartawan?” pikir saya kemudian. 

Walaupun saya pernah mengikuti pelatihan jurnalistik untuk mahasiswa se Indonesia di Universitas Trisakti pada 1980, buat saya menjadi wartawan bak menara gading. 

Profesi wartawan itu begitu agung, nyaris tak terbayangkan sebelumnya, apalagi sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Tak mungkinlah saya jadi wartawan. 

Namun, saya tak bisa menolak ajakan itu. Tak ada salahnya mencoba pikir saya, toh saya bersama teman-teman di PMJ Ekonomi pernah ikut membidani lahirnya majalah Gema Ekonomi. Juga pernah di Didaktika

Berkat potongan iklan baris entah dari Pos Kota atau Kompas itu akhirnya kami mengikuti pelatihan jurnalistik yang diadakan selama sepekan di sebuah bangunan SD di Petojo dengan bimbingan seorang wartawan senior asal Bandung, Oskar Kamajaya. Pelatihan ini bersamaan dengan meletusnya kasus pembunuhan Dietje Budi Mulyono yang (kabarnya) dibunuh oleh Pakde di Kawasan Kalibata. 

Itu sebabnya, kasus ini menjadi praktek lapangan belasan peserta pelatihan. Bolak-balik terpaksa harus melakukan wawancara dengan pengacara Pakde untuk melakukan check and recheck di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Salemba.

Selepas pelatihan, lulusan yang dianggap lima terbaik bakal disalurkan ke beberapa media cetak. Kebetulan pula saya dan Yayat masuk dua di antaranya, hingga kemudian direkomendasikan masuk ke Harian Jayakarta di daerah Tanah Abang II, kantornya bersebelahan dengan markas Paspampres. Betapa bungahnya saya bakal memulai untuk menjadi wartawan meski cuma sebagai stringer, wartawan freelance.

Karena masih newbie dan kebetulan berasal dari ekonomi, maka berita yang disetor adalah berita ekonomi karena kami belum paham betul kantung-kantung sumber berita itu ada di mana saja dan bagaimana cara menggalinya. Nah ketika tiba di kantor koran itu selepas Ashar, di ruang semacam aula yang tergelar meja pingpong kami menemui beberapa wartawan yang ada di sana. 

“Mau ngapain lu,” sergah seorang di antaranya, rada songong.

“Mau ketemu redaktur ekonomi,” saya menyahut.

“Oh, Mas Kabul di atas, di lantai 2 tuh.”

Sang wartawan senior itu lalu ngajak ngobrol pendek. Dia bilang, wartawan baru hasil liputannya harus berkali-kali, baru bisa dimuat setelah enam bulan sampai setahun ke lapangan. “Waduh,” celaka nih pikir saya. Sebelum ngeloyor ke lantai 2 dia malah menyambung rada bikin jengkel juga. “Punya rokok nggak, bagi dong.” Saya mengambil sebungkus Gudang Garam dari kantung sementara dia langsung menyambarnya dan meloloskan sebatang. 

Tahun 2022 di acara perkawinan anak mantan Republika

Tak butuh enam bulan, apalagi setahun, hari ini setor tulisan, besok langsung dimuat. Semangat kami tumbuh, makin percaya diri. Hingga bergonta ganti manajemen beberapa kali, saya dan Yayat masih bersama di koran yang sama. 

Tak butuh waktu hingga setahun kami kemudian menjadi redaktur, sudah bisa menentukan mana yang layak muat dan mana yang tidak layak muat. Kepercayaan diri tentu sudah meningkat tajam, ibaratnya pejabat, aparat, pokoknya semua nara sumber di bawah kendali kami.

 Kami mendapat previledge, meski saya tak mau jumawa. Yang jelas, saya tak lagi punya rasa takut (kecuali sekali pernah ditendang dan disikut Paspampres saat Sidang Umum MPR 1988). 

Saya semakin nyaman menjadi wartawan, pergaulannya egaliter. Kepada yang jauh usianya di atas cukup panggil mas, tak perlu panggilan pak. Di kantor bisa berkaus oblong, pakai kain Bali, dan bersandal jepit, kendati juga menyiapkan jas atau dasi mana tahu dibutuhkan saat hendak meliput. 

Dari Harian Jayakarta karena gonjang-ganjing manajemen, hingga kelompok saya dan Yayat dijadikan pemberitaan oleh Majalah Berita Editor, kemudian tahun 1989 melompat ke manajemen Suara Pembaruan. Di sini benar-benar tak genap sebulan, cuma dalam masa persiapan terbit, akhirnya eksodus ke kelompok Kompas Gramedia di Surabaya membangun koran Surya, saya menjadi Kepala Biro Madiun dan Yayat mengasisteni halaman Daerah Jatim di Surabaya. Sepekan sekali bertemu di rumah yang dikontrakan oleh kantor di Surabaya.

Selepas dari Surya Surabaya, saya sempat sebentar di Majalah Psikologi Anda Bos dan Yayat ke harian Berita Buana, lembaga berbeda tapi sama-sama dimiliki oleh Sutrisno Bachirhingga kemudian sekantor lagi di Buncit 37, satu almamater lagi di Republika. Saya bahkan sempat keluar bersama beberapa teman dari Republika (tidak termasuk Yayat) membangun Tabloid Musik MuMu (juga tabloid lainnya) milik Timmy Habibie, adik bungsu BJ Habibie. 

Tidak ada komentar