Breaking News

Persahabatan Bagai Kepompong (2)


Untuk urusan profesional, dalam beberapa hal sudah seperti duo yang tak terpisahkan. Untuk memoles public relation Nur Mahmudi Ismail berupa penerbitan koran kampanye pada Pilkada Depok 2010, kami ikut cawe-cawe.

Pertemanan kami, dalam beberapa hal, bahkan menguras emosi dan menyelipkan empati pribadi di dalamnya. Pertemanan, buat saya, harus dijunjung dengan didasari rasa kemanusiaan. Ini hukum tertinggi buat saya, memang buat sebagian orang terlalu naif. Sah saja. 

Saya selalu gampang mengingat keterlibatan ikatan pertemanan secara emosional. Tapi perlakukan masa lalu seperti kaca spion, cukup sekali-kali saja meliriknya. 

Ketika dulu Yayat kesengsem cewek Cianjur, tetangga satu kampungnya, saya diajaknya ke tempat kostnya di daerah Salemba. Ternyata di sana markas cewek calon perawat di RS Cipto Mangunkusumo. 

Bukan sekali dua, kadangkala, saya jadi obat nyamuk bakar. Saya pun diminta pendapat tentang cewek itu. Ketika esok pagi Yayat menikah, saya bersama Munir, Indra, Boneng, Wayan, bahkan malamnya masih menonton film midnight di satu bioskop di Cianjur. 

Teman sekamar (Sama-sama mondok di kantor) di Jayakarta sekaligus mentor kami almarhum EH Kartanegara mantan wartawan Tempo, sempat heran bahkan curiga dengan hubungan pertemanan kami. Suatu saat, ketika hendak tidur di ruang sempit ukuran 1,5 X 2 meter sehingga kami bertiga tidur di kasur single tanpa seprei, terpaksa berdempetan. Yayat tertidur lebih dulu di lantai beralaskan kardus karena kasur yang cekak tak muat untuk tiga orang, kaki saya masih berjarak satu sama lain, mungkin karena belum terlelap, ia seolah merasa tak ada orang di kamar. 

Kaki kirinya (dengan mata masih terpejam) lantas mencari kaki kanan saya lalu menempelkannya dan menggesek perlahan hingga gerakannya tak ada lagi, terlelap dia. Mentor saya itu heran karena kebiasaan Yayat itu bukan dilakukan cuma sekali, sementara saya diam saja. Belakangan ia menebak-tebak, kemudian menyimpulkan soal kebiasaan psikologis anak bungsu yang dilakukan di alam bawah sadar. 

Sekali waktu pula, selepas selesai kuliah, saya harus terlibat pergulatan emosional karena seorang kakaknya memeluk saya erat-erat saat berkunjung ke rumah kakak perempuannya di Bogor. Saat akan melepas pelukan, kakak lelakinya itu berbisik di telinga, "dia sekarang ibadah melulu." 

Yang bikin heran, mata kakak lelakinya itu berkaca. "Dia sekarang di kebun melon di saung, temenin atuh. "

Saya coba mengerti kondisi psikologis sahabat saya ini, tapi saya tak tahu sedang segundah apa hatinya. 

Ketika menjelang anak pertamanya lahir – karena kantor kisruh – tengah malam buta seusai meeting, saya masih bolak-balik ke rumahnya di Cianjur sekadar mengabarkan perkembangan kantor sekaligus menghantarkan titipan teman. Nama anak pertamanya pun, bisa jadi, wujud keterlibatan Yayat secara emosional dengan situasi yang dialami saat itu. Ia lebih kompulsif ketimbang saya yang cenderung impulsif, lebih instingtif, spontan. 

Ketika itu kami delapan orang wartawan melakukan demo menyatakan mosi tidak percaya dengan melakukan upacara bendera. Nah, filosofi kelompok delapan ini yang diabadikan dalam nama anaknya kelak ketika lahir. 

Meski berteman karib dan akrab, namun ada batas yang tak boleh saya langgar. Ada wilayah yang bukan hak kita untuk ikut terlibat di dalamnya tanpa harus diberi tahu, sebebas atau sedekat apapun. Pertemanan kami tetap terjadi hingga kini, setelah lebih 42 tahun bersahabat. 

Saya masih bisa enak mencomot penganan di meja makannya ketika bertamu ke rumahnya di Bogor. Saya masih bisa menggotong beberapa sisir pisang yang sudah masak ketika nyelonong ke dapur rumahnya karena memang disorongkan oleh sang istri. “Sok aja kalau mau bawa mah,” tutur sang istri.

Kini, kami sudah tak lagi berkhidmat menjadi wartawan. Saya masih mengasah kemampuan menulis dengan membuat web atau blog pribadi, biar tak pernah mengenal ada kata pensiun untuk wartawan. 

Saya juga akhirnya berhasil membangun legacy, menerbitkan buku profil dan biografi. Sejak Januari lalu sudah empat kali naik cetak (sedang memikirkan untuk melayani pencetakan massal). Sementara Yayat ‘berjihad’ di lembaga filantropi Dompet Dhuafa, lembaga yang sama-sama saya ikut mendirikannya. Semoga dia amanah di sana.

Yang kadangkala saya sesali, saya pernah tak bisa memenuhi undangan Yayat ketika anak pertamanya menikah. Jika proses menuju kelahiran anaknya itu saya ikuti day by day, ketika melepas masa lajang 10 tahun lalu saya justru tak bisa menghadirinya. 

Pada hari yang sama, saya bersama dua anak saya mesti menjemput istri di bandara selepas selama 3,5 bulan menjadi petugas haji (sekaligus melakukan peliputan).

Kini anaknya itu sudah memberi Yayat tiga cucu, anak-anak lainnya memberi tiga cucu. Di sana-sini rambut saya memutih, Yayat bahkan sudah meninggalkan dunia hitam. Itu adalah pertanda.Kita sudah mendapat tiket; karcis untuk pulang. Entah kapan.Tapi pasti. (Krisman Purwoko

Tidak ada komentar